Tangisan Rasulullah SAW Menggetarkan Arasy

23 April 2011
“Dikisahkan, bahawasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka ’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka ’bah, dan berzikir lagi: “ Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata: “Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, kerana aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah. ”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab ?” “Belum,”jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya ?” “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum
pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya, ” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat !” Melihat Nabi dihadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya. “Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk
untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu,
Rasulullah s.a.w.menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:“Wahai orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda:
“ Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar !” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.
Maka orang Arab itu pula berkata:
“ Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya !”kata orang Arab badwi itu.
“Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan ?” Rasulullah bertanya kepadanya. ‘Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,’ jawab orang itu. ‘ Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawananNya! ’
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata: “ Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda:
“Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya kerana tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya,juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti !”
Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita tersebut. la lalu menangis kerana tidak berdaya menahan keharuan dirinya.

Kyai Kampung vs Pemuda Liberal

Inilah kisah kiai kampung. Kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu, mengaku santri liberal, karena lulusan pesantren modern dan pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.



Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai. Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai: “Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu dengan nada menantang. Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya dengan nada yakin dan semangat.



Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.



Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas. Lalu kiai bertanya: “Kok tidak langsung diminum dari termos saja. Mengapa dituang ke gelas dulu?,” tanya kiai santai. Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai,” jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: “Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits. Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu’tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah diambil dari al-Qur’an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?”. Tamu tersebut terdiam tak berkutik.



Kemudian kiai balik bertanya: “Apakah adik hafal al-Qur’an dan sejauhmana pemahaman adik tentang al-Qur’an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan ‘Imam Syafi’iy siapa yang lebih alim?” Santri liberal ini menjawab: Ya tentu ‘Imam Syafi’iy kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur’an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 beliau telah menjadi guru besar dan mufti,” jawab santri liberal. Kiai menimpali: “Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada ‘Imam Syafi’iy, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi’iy tentang al-Qur’an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?,” tanya kiai. “Ya kiai,” jawab santri liberal.



Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: “Terus selama ini orang-orang awam tatacara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi memahami?,” tanya kiai. Sang santri liberal menjawab: “Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut,” jelas santri liberal.



Kemudian kiai bertanya balik: “Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi’iy ya?.”. Jawab santri: “Ya tentu alim Imam Syafi’iy kiai,” jawabnya singkat. Kiai kembali menjawab: “Itulah sebabnya kami bermadzhab ‘Imam Syafi’iy dan tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits,”.” Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!,” jawab santri liberal ini.



Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung, akhirnya minta ijin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.*

Makna Sejati Lepas Sandal Saat Masuk Masjid

25 Februari 2011

Ada seorang teman bertanya, kenapa kalau seorang muslim masuk masjid selalu harus melepaskan sandal? Yang lainnya menjawab, sebab masjid itu suci sehingga sandal tidak boleh dipakai masuk ke dalam masjid. Jawaban tersebut ternyata tidak membuat si penanya tersebut merasa puas. Beraneka macam tanya berkecamuk dalam dadanya.



Ia kembali bertanya, Lha kalau kita beli sandal yang baru dari pasar dan masih belum dipakai, lalu sandal tersebut dipakai masuk ke masjid, boleh apa nggak? Yang lain pun tetap menjawab, tetap tidak boleh. Si penanya kembali melanjutkan rasa ingin tahunya. Ia kembali bertanya, alasannya apa kok tetap nggak boleh? Si penjawab pun tetap tidak mau kalah dan menjawab, karena masjid itu suci.



Si penanya kembali melanjutkan pertanyaan yang membuat hatinya gundah gulana. Ia mengatakan, okelah kalau begitu. Tapi sesuatu yang bisa mensucikan itu kan air. Kalau sandal tadi saya cuci dulu hingga bersih, bolehkah saya pakai masuk ke dalam masjid? Si penjawab dengan berang dengan mengatakan, nggak boleh! "Alasannya apa," tanya si penanya. Si penjawab kembali mengatakan, karena masjid itu suci.



Dari dialog dua orang tersebut kalau diteruskan tidak akan pernah ada akhirnya. Pasalnya, kedua orang si penanya dan si penjawab sama-sama merasa benar. Si penanya merasa benar karena tidak ada jawaban yang memuaskan hatinya, sementara si penjawab merasa benar karena memang masjid adalah tempat yang suci.



Kedua orang tersebut memang sama-sama benar. Si penanya juga benar, si penjawab pun juga benar. Tetapi yang lebih benar adalah bahwa dilepaskannya sandal di pelataran masjid dan tidak boleh dibawa masuk adalah merupakan simbol ajaran sejati. Ajaran sejati apakah itu?



GUSTI ALLAH itu adalah Maha Suci. Sebuah sandal adalah simbol dunia. Sandal itu tempatnya di kaki yang artinya, dunia itu seharusnya kita naiki/injak. Bukan malah terbalik, kita dinaiki/diinjak oleh dunia.



Memiliki sandal juga bisa berarti bahwa jika kita sudah berhasil memiliki harta dan tahta di dunia ini, maka tidak semestinya sandal tersebut kita pakai saat kita masuk masjid karena tujuan kita masuk masjid tentu saja untuk menyembah GUSTI ALLAH. GUSTI ALLAH itu Maha Kaya, maka meski kita punya harta yang banyak dan tahta yang tinggi, semua itu tidak ada artinya di mata GUSTI ALLAH.



Melepaskan sandal itu pun juga pernah dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Musa AS. Hal itu bisa dibaca dari ayat Al Qur'an, "...sesungguhnya kamu berada di Bukit Suci Thuwa, maka lepaskanlah kedua terompah mu... (QS)".



Kalau Kanjeng Nabi musa AS saja yang mempunyai derajad tinggi di mata GUSTI ALLAH diharuskan untuk melepas terompah (sandal), apalagi kita sebagai manusia biasa saat menghadap GUSTI ALLAH pun juga harus melepaskan sandal kita.(*)

 

Total Pageviews